Desa babadan merupakan desa kecil di lereng pegunungan di kecamatan Ngrambe Kabupaten Ngawi, yang berjarak ± 45 km dari Kota Ngawi kearah gunung Lawu yang kaya akan buah durian. Desa Babadan hanya terdapat 2 dusun yaitu Babadan dan Bedali yang berpenduduk 1846 jiwa (505 KK). Sebelum Program STOPS masuk, hampir 300an KK ber akses ke sungai, karena kondisi geografis yang sangat mendukung dan belum adanya kesadaran masyarakat akan dampak BAB Sembarang tempat.
Program SToPS berjalan di Kabupaten Ngawi baru September 2008, sedangkan kegiatan pemicuan dilakukan di Babadan pada bulan November 2008. Selama 6 bulan berjalan, secara keseluruhan Kabupaten Ngawi mengalami jalan di tempat, karena anggaran yang Rp.0,- sehingga pihak kabupaten (khususnya dinas kesehatan) tidak berani bertindak/ berkoordinasi dengan pihak lintas sektor lain ataupun ke struktural tingkat kecamatan/puskesmas. Pihak kabupaten merasa tabu kalau koordinasi tanpa membawa anggaran. Mereka masih ada rasa malu, sungkan, tidak enak sehingga program pun tidak dijalankan dengan baik. Melihat respon yang kurang baik, pihak structural di tingkat kecamatan/puskesmas menganggap bahwa Program ini tidak serius karena kabupaten saja tidak ambil pusing, Hal ini sangat berpengaruh besar terhadap kinerja teman-teman fasilitator dan orang-orang di kecamatan dan puskesmas. Hampir 35 fasilitator yang dilatih, hanya ada 3 yang aktif, yang lainnya baru bergerak ketika di ajak untuk berkeliling.
Selama Kabupaten mati suri, kecamatan dan puskesmas pun ikut tidur lelap hingga desa sasaran tidak ada yang memantau sama sekali. Pendamping berusaha memicu kabupaten dan fasilitator dengan memperlihatkan capaian yang rendah karena tidak adanya tim yang memonitoring. Yang sungguh di luar dugaan, justru bukan pihak kabupaten dan fasilitator yang bergerak hati untuk memperjuangkan “Ngawi terbebas dari ranjau TAI” justru pihak purnawirawan berbaju loreng yang sangat antusias mengetahui program SToPS dan menjadi relawan untuk melakukan pemicuan, monitoring dan berkoordinasi secara inovatif mencari celah di lintas sector. Berkat kerjasama yang baik dan kegigihan beliau, “enabling”di kecamatan Ngrambe mulai terbentuk. Pihak muspika, polsek, TNI, Diknas, PKK, Kecamatan, Puskesmas, duduk bersama untuk mencari solusi bagaimana Program SToPS bisa berjalan dan meluas di kecamatan Ngrambe walaupun pihak Kabupaten tidak memperhatikan. Akhirnya mereka membentuk Tim SToPS Kecamatan Ngrambe. Tim ini beranggotakan orang-orang di forum kesehatan, puskesmas (PL&Promkes), PKK,UPT Kecamatan, Guru, anggota pramuka, muspika, bidan desa. Tanpa bimbingan dan perhatian dari kabupaten, tim ini terus berjalan melakukan replikasi hingga 14 desa di kecamatan Ngrambe sudah dilakukan pemicuan.Tim juga menyusun jadwal monitoring. Yang luar biasa adalah mereka melakukan replikasi, memicu, dan monitoring, tidak memiliki anggaran sama sekali. Tetapi berkat koordinasi dan hasil triggering ke aparat desa khususnya kepala desa, cairlah ADD Desa Sehat yang sebelumnya akan digunakan untuk stimulant dialihkan untuk biaya pemicuan dan monitoring.
Berikut foto-foto antusiasme masyarakat Babadan yang ingin lingkungannya terbebas dari ranjau TAI
Melihat antusias dari masyarakat yang luar biasa sangat disayangkan ketika pihak kabupaten masih saja ego program, punya rasa sungkan tidak ada anggaran, ego politik yang membuat kabupaten tidak respek dengan program. Kabupaten terlampau menganggap remeh masyarakat, kabupaten beranggapan program tanpa stimulant, itu menyulitkan dan masyarakat tidak mau bergerak, padahal kenyataan di masyarakat jauh berbeda.
Kegiatan Gotong royong membangun jamban sehat Desa Babadan yang melibatkan TNI
Kegiatan Monitoring
Di desa Babadan, monitoring dilakukan oleh tim monitoring (forum desa, purnawirawan, muspika, natural leader, komite, aparat desa, sanitarian puskesmas, bidan desa)
Jamban Kreasi Desa Babadan adalah sebagai berikut
Jamban sehat dan sederhana milik masyarakat Babadan, biaya yang dibutuhkan untuk membangun jamban sehat hanya Rp.180.000,-
Desa Babadan juga sudah mulai mencetak sendiri closed, tetapi karena setelah dihitung biaya pembuatannya dan jatuhnya mahal, akhirnya masyarakat memilih untuk membeli, apalagi setelah ada kerjasama dengan supplier dari Sragen, harga closed yang aslinya Rp.30.000,- menjadi Rp.21.000,- (tetapi dengan batas pembelian > 60 closed.
![]() |
(Foto di atas tampak cetakan closed dan closed yang sudah jadi hasil karya masyarakat Babadan) |
Hampir 6 bulan berjalan, akhirnya desa Babadan berani melakukan verifikasi dan deklarasi ODF. Desa dan puskesmas sudah mengetuk pintu kabupaten untuk berkoordinasi agar bersama-sama melakukan verifikasi dan deklarasi. Tetapi respon kabupaten sangat lambat, mereka terbentur dengan warna parpol, dimana di luar bendera yang sama, sulit untuk di ajak duduk bersama. Karena mengalami kebuntuan, desa beserta kecamatan dan puskesmas melangkah sendiri tanpa kabupaten. Tim STOPS Kecamatan mengundang WABUP Ngawi untuk menyaksikan deklarasi Desa Babadan ODF.
DEKLARASI DESA BABADAN ODF
![]() |
WABUP Kab.Ngawi memberikan sambutan (foto kiri) WABUP tampak antusias menggunting pita “symbol deklarasi desa Babadan 100% ODF”(foto kanan) |
![]() |
| WABUP Kab Ngawi beserta TTL-WSP (bu R.Indra Josodipoero) menandatangani closed (yang nantinya closed tersebut akan dipasang pada tugu ODF Desa Babadan) |
Pasca Deklarasi Desa Babadan ODF, kabupaten serasa dipukul kencang, karena pada saat sambutan, si Pejuang baju Loreng dengan lantang berbicara dengan semua orang bahwa selama ini kabupaten tidak tahu apa-apa tentang perkembangan SToPS Kecamatan Ngrambe khususnya Desa Babadan karena kabupaten sedikit pun tidak mau ikut terlibat. WABUP sempat menjawab dengan “guyonan” kalau dinas kesehatan beda DAPIL sehingga sangat wajar dan harap maklum kalau dinas kesehatan tidak bergerak. Hal ini sangat ironis dan aneh di dengar tapi itulah Kabupaten Ngawi yang “unik”. Wujud kegiatan untuk menutupi rasa malu kabupaten, tim di Kabupaten mulai menyusun draft proposal dan dengan cepat mengajukan, berhubung WABUP berjanji akan membantu mengawal anggaran, dana SToPS untuk Kabupaten Ngawi yang tadinya hanya 22 juta diharapkan bertambah menjadi 100 juta, dimana 78 juta diambilkan dari P-APBD 2009.
Harapannya dengan cambuk rasa malu yang dipecutkan dari Pejuang Baju LOreng untuk Kabupaten, membuka mata kabupaten untuk bergerak, karena masyarakat di bawah sudah semangat, jangan sampai masyarakat tidak lagi ada kepercayaan dengan kabupaten karena dianggap memberi contoh “mau bergerak kalau ada uang berlebih”.
Semangat terus dan pantang menyerah….
Salam ODF…
Ratih Hafsari Purwindah, SKM





15.29
Unknown










Posted in:
0 komentar:
Posting Komentar